HarianUmmat.Com, JAKARTA – Ceramah Ustadzah Oki Setiana Dewi menjadi sorotan publik karena dianggap menormalisasi KDRT (kekerasan di dalam rumah tangga). Kritik dan komentar dengan beragam variannya bertebaran silih berganti di media sosial.
Dalam ceramah tersebut dia menyampaikan suatu risalah keagamaan di mana seorang muslim berkewajiban memelihara suatu hal yang menjadi rahasianya, yakni aib keluarga.
Kontroversi bertebaran tatkala dia menterminkan konsep kekerasan keluarga dalam tarikan historis fenomena salah satu keluarga di Jeddah.
Ustadzah Oki bercerita, “Jadi ada suami-istri di Jeddah lagi bertengkar, suaminya pada saat itu marah luar biasa ke istrinya sampai wajah istrinya dipukul. Istrinya menangis saat itu,”
Dalam laman mui.or.id pada 3 Februari 2022 dijelaskan mengenai ke-Islam-an dan kekerasan adalah dua terma yang bertentangan.
Dalam konsep keagamaan, Islam sangat melarang kekerasan, apalagi dalam keluarga.
Kerap kali kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena ketidakpatuhan (durhaka) istri atau kealpaan suami dalam menjalankan kewajibannya, dalam Islam dikenal dengan nusyuz.
KDRT jelas hal yang dilarang dalam Islam.
Bahkan seorang ahli hukum Suriah abad-19, Ibnu Abidin menyatakan bolehnya permohonan hukuman jasmani (ta'zir, qiyas) oleh istri terhadap suami yang melakukan kekerasan terhadapnya.
Tapi tidak sedikit pula yang menginterpretasikan surat An-Nisaa ayat 34 sebagai legitimasi dari perbuatan kekerasan (memukul) terhadap istri.
Ayat ini sering menjadi perdebatan pelik yang melibatkan para intelektual muslim.
Lafaz “wadhribuhunna” dalam realitasnya mengalami ambiguitas pemaknaan baik secara teks dan konteks.
Para ahli tafsir dari era klasik (salafiyah), pertengahan sampai ulama kontemporer belum menemukan kesepakatan secara syar’i dalam memantik lafaz itu.
Para ahli cuma sepakat memberikan kondisi yang ketat terhadap “wadhribuhunna” sebagai solusi terakhir dalam mempertahankan perkawinan akibat kedurhakaan (nusyuz) istri.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menafsirkan “wadhribuhunna” sebagai suatu tindakan menegur dengan fisik yang tidak melukai terhadap fisik dan mental sang istri.
Hal itu bisa dilakukan sebagai jalan terakhir dalam kegagalan membina perkawinan karena kedurhakaan istri yang dibenarkan secara syar'i setelah memberi teguran dan memisah ranjang dengan sang istri (tidak menyetubuhi).
Imam Nawawi juga dalam kitabnya, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyin memberikan rincian bagaimana suatu perbuatan “wadhribuhunna” itu bisa dilakukan.
Dalam artian, memukul bukan terminan dari kekerasan, tapi usaha penyadaran.
Oleh demikian terdapat ketentuan di dalamnya, seperti nusyuz istri dalam taraf akut, menggunakan sapu tangan, tidak sampai melukai dan membekas di tubuh sang istri dan tidak memukul di area vital yang berakibat fatal terhadap kondisi fisik istri, seperti kepala.
Dalam kitab Shahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw, bahwa Nabi SAW pernah bersabda dalam haji wada’-nya:
Artinya: Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang ma'ruf.
Di akhir riwayat, ustadzah Oki mengungkapkan konklusi naratif: “Jadi nggak perlu menceritakan aib yang sekiranya membuat menjelek-jelekkan pasangan kita sendiri,”
Hal itu jelas terbukti ketika pengaduan kepada orang tuanya tidak didapati dari istri, suami merasa sadar akan perbuatannya.
“Mendengar pernyataan itu, hati sang suami langsung luluh, ya Allah istriku menyimpan aib aku”.