HARIAN UMMAT ■ Tulisan ini setidaknya menyimpulkan dari beberapa kajian penulis sebelumnya tentang aplikasi digital, harta digital, dan sejenisnya. Ada sebuah kecenderungan bahwa modus pelanggaran atau kejahatan dewasa ini memiliki orientasi yang berubah.
Jika sebelumnya, pelanggaran dan kejahatan di bidang keuangan dilakukan dengan memainkan peran fisik uang dan melalui pola transfer antarbank, atau pemisahan tabungan secara fisik dan manual, namun kali ini pelanggaran dan atau kejahatan akad itu tidak lagi memakai perantara objek fisik uang. Pelanggaran dan atau kejahatan dewasa ini berkutat pada seputar “harta berjamin” (ma fi al-dzimmah).
Secara Syafi’iyah, pelanggaran/kejahatan di bidang harta jaminan ini bisa dikelompokkan menjadi tiga. Namun secara Hanafiyah, pelanggaran/kejahatan di bidang harta jaminan ini bisa dikelompokkan sebagai empat. Kita akan fokus pada mazhab Syafi’i sebab mazhab ini dianut mayoritas umat Islam di bumi Nusantara ini.
Pelanggaran Akad pada Harta Jaminan Menurut mazhab Syafi’i, jaminan yang dibenarkan oleh syara’ itu hanya ada 3, yaitu aset fisik, utang, dan pekerjaan.
Mazhab ini menetapkan bahwa dalam konteks jaminan atas suatu utang dengan rupa barang (ain), meniscayakan barang jaminan itu tidak boleh dijual atau dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain oleh pihak yang menjaminkan (rahin). Itu sebabnya, dalam akad gadai, objek gadai (marhun bih) tidak boleh dijual atau dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain, sekalipun itu lewat akad hibah.
Pokoknya segala akad yang meniscayakan terjadinya perpindahan milik bagi objek gadai (al-‘uqud al-lazimah), seluruhnya tidak boleh dilakukan (mauquf), baik itu hibah, sedekah, hadiah, jual beli, dan sejenisnya.
Adanya pengalihan kepemilikan terhadap barang jaminan, menjadikan akad gadainya batal. Batal dalam konteks gadai ini, jika memiliki kaitan dengan kesengajaan menyebabkan terjadinya kerugian pada pihak lain (pegadaian), maka inilah yang dinamakan kejahatan. Mengapa? Sebab akad gadainya sudah terjadi dan terjadinya perpindahan kepemilikan itu ada di tengah-tengah masa pelunasan utang gadai.
Konsep berbeda terhadap pengalihan itu dapat dinilai sebagai sebatas pelanggaran saja, manakala tidak menyebabkan terjadinya perpindahan kepemilikan, melainkan menjebak pihak yang seharusnya mendapat penunaian, ke dalam jerat-jerat jaringan yang diciptakan oleh pihak yang berkewajiban istifa’ al-dain tersebut.
Hal yang sama juga berlaku pada konteks jaminan atas suatu utang dengan utang yang akadnya mungkin bisa digambarkan sebagai dlaman al-dain bi al-dain atau kafalah dain bi dain.
Misalnya untuk dlaman al-dain bi al-dain ini adalah: “Pak Rusdi menyuruh kerja Pak Anton, alhasil Pak Rusdi punya utang bayaran terhadap Pak Anton. Untuk melunasi utangnya, Pak Rusdi menjanjikan kepada Pak Anton, yaitu jika utang Pak Roni sudah dilunasi kepada Pak Rusdi, dan itu sudah disepakati oleh Pak Anton. Tapi, ternyata Pak Rusdi menggunakan utangnya Pak Roni kepadanya tersebut untuk membeli sesuatu dari Pak Roni. Jadilah kemudian Pak Anton kehilangan utang yang dijaminkan untuk gajinya.”
Akad serupa dengan hal semacam ini sering dijadikan modus kejahatan oleh para pengembang aplikasi di era modern sekarang ini.
Misalnya, seharusnya pihak pengembang aplikasi memiliki utang bayaran kepada membernya. Guna memenuhi utang tersebut, pihak pengembang menyediakan alat penukar. Namun, tanpa diduga sebelumnya, pihak pengembang aplikasi menghilangkan aset penukar lama yang sepadan dengan tanggungan yang harus dibayar oleh pengembang kepada membernya, tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya dan secara mendadak saat member sudah masuk dalam jejaring bisnisnya.
Contoh misalnya, utang pengembang kepada member adalah 100 ribu. Namun alat penukar yang tersedia bernilai minimal 500 ribu. Untuk memenuhi 500 ribu, pihak member yang punya saldo 100 ribu, harus mengikuti aktivitas mengejar poin 500 ribu rupiah ini.
Nah, akad semacam ini sering dijadikan modus bagi pengembang aplikasi agar aplikasinya itu dikunjungi banyak orang. Bagaimana pandangan fiqih terhadap jenis akad semacam? Hal semacam ini dalam istilah aslinya adalah termasuk akad najasy (testimoni palsu). Nilai 100 ribu ini sifatnya adalah wajib untuk disampaikan oleh pengembang kepada member. Mengapa? Sebab, sekecil apapun 100 ribu itu, ia masuk kategori harta.
Keengganan pengembang aplikasi untuk menunaikan pembayaran 100 ribu dengan menjebak mengejar poin 500 ribu adalah termasuk praktik berdosa (atsimun) karena hikmah najasy-nya. Namun, praktik muamalah yang terjadi tetaplah dipandang sebagai sah secara syara’—menurut salah satu pandangan pendapat para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i.
Ulama yang memandangnya tidak sah adalah karena alasan bahwa pengalihan aset penukar adalah seolah bermakna hanya untuk menghindari pemenuhan utang 100 ribu.
Jika anda ingin tahu bagaimana hal itu terjadi, maka silakan menginstal aplikasi Klik Share, Shopee dan sejenisnya. Lalu, bandingkan dengan apa yang penulis sampaikan di atas! Adakah keserupaan? Jika serupa, maka keduanya adalah termasuk jenis aplikasi yang telah melakukan pelanggaran akad sehingga berubah menjadi akad najasy. Muamalahnya tetap sah, namun pihak pengembang telah berdosa.
Kecenderungan pelanggaran akad semacam ini, dalam pendataan penulis adalah dilakukan oleh para pengembang transaksi digital dan diakui secara resmi oleh negara dan legal secara hukum negara. Sifat kerugian yang ditanggung oleh member, umumnya adalah mereka terjebak oleh waktu untuk berlama-lama dengan aplikasi tersebut. Sementara intisari penciptaan aplikasi hanya dimaksudkan untuk meningkatkan traffic kunjungan ke aplikasi yang dikembangkan.
Yang Lebih Kejam dari Pelanggaran Akad pada Aplikasi Digital Jika pelanggaran menempati derajat kejahatan yang berlevel rendah sehingga pihak pelakunya merupakan seorang pendosa, maka pada level yang lebih kejam dari sekadar pelanggaran adalah tidak tersedianya aset penjamin tanggungan.
Biasanya kejahatan jenis ini dilakukan oleh pihak pengembang aplikasi yang piawai melakukan pengelabuan. Penelusuran penulis bersama-sama sejumlah rekan peneliti di eL-Samsi (Lembaga Studi Akad Mumalah Syariah Indonesia) berhasil mendata sejumlah aplikasi yang dikembangkan oleh orang yang sama dan pernah melakukan praktik yang serupa.
Modus operandi kejahatannya juga sama, yaitu ketiadaan aset penukar yang bisa dijadikan jaminan atas suatu upah/reward bagi member aplikasi. Jadi, aplikasi ini benar-benar murni terindikasi mentransaksikan harta mondial atau harta fiktif, atau ma’dum.
Intisari dari diciptakannya aplikasi yang hanya berbasis member get member (anggota mencari anggota) adalah menjebak member untuk setor keuangan, tanpa merasa dirinya telah ditipu sebab seolah ada produk yang memperantarainya. Seolah produk tersebut berlaku sebagai sesuatu yang memiliki jaminan (ma fi al-dzimmah), padahal tidak sama sekali. Tidak ada satupun jaminan yang disiapkan oleh pengembang. Mereka hanya menyediakan skema-skema mempermainkan saja.
Mengapa Barang Jaminan Menjadi Modus Baru Pelanggaran dan Kejahatan? Pertanyaan ini sejatinya sudah lama diantisipasi secara langsung oleh mayoritas ulama salaf dan khalaf. Dalam banyak teks fiqih, segala transaksi yang melibatkan sesuatu dalam jaminan, memang mengandung potensi gharar (spekulatif) yang besar. Mengapa? Sebab, pihak yang melakukan transaksi acapkali tidak mengetahui/tidak mengenali terhadap objek yang ditransaksikan secara langsung. Inilah peluang bagi terciptanya tindakan kesengajaan untuk melakukan taghrir (pengelabuan) dan tadlis (penipuan) oleh pihak yang memang berniat jahat.
Ulama yang membolehkan transaksi dengan objek ma fi al-dzimmah adalah ulama jumhur, yaitu ulama yang berafiliasi ke pemerintahan dan hakim, seumpama Imam Al-Mawardi dan Imam Qadli Husain. Dasar utama pembolehan adalah selagi barang itu bisa didekati oleh hukum, sehingga bisa dijamin hukum. Jika tidak, maka tidak ada artinya sifat keterjaminan itu dan pendapat ini yang kemudian dijadikan pijakan oleh para ulama bagi kesahihan transaksi salam (pesan) dan ijarah (sewa jasa) serta cabang-cabangnya.
Adanya 2 pintu pendapat itu, menjadikan pihak yang lihat dalam melakukan penipuan, mencoba masuk ke ruang antara pembolehan dan pelarangan. Dia berdiri di maqam remang-remang sehingga sulit dideteksi, kecuali bagi pihak yang kuat dalam memegang ketentuan syarat dan rukunnya akad. Untuk pihak yang tidak berpegang kuat terhadap hal tersebut, dengan mudah ia dikelabui oleh kamuflasenya.
Alhasil, berhati-hatilah dalam melakukan akad dengan harta jaminan. Sebab, tidak adanya jaminan itu terpenuhi menjadikan akad batal secara syara’. Harta yang diperoleh merupakan harta yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: kullu lahmin nabata min suhtin, fan-naru aula bihi (setiap daging yang tumbuh dari perkara haram maka api (neraka) lebih utama baginya). Waspadalah! Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Direktur Komunitas eL-Samsi dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim
Sumber: NU